Saturday 14 August 2010

PERAN INTERNET DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR




Oleh: Prof. Dr. H. Mohamad Surya*


Penggunaan Internet dalam pembelajaran

Internet merupakan satu bentuk produk teknologi komunikasi yang berkembang pesat di penghujung abad 20 dan di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek dan dimensi. Dengan perkembangannya yang amat cepat, komputer dan internet mempunyai peran dan dampak yang cukup besar bagi dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Internet telah mengubah wajah pembelajaran yang berbeda dengan proses pembelajaran tradisional yang ditandai dengan interaksi tatap muka antara guru dengan siswa baik di kelas maupun di luar kelas.
Di masa-masa mendatang, arus informasi akan makin meningkat melalui jaringan internet yang bersifat global di seluruh dunia dan menuntut siapapun untuk beradaptasi dengan kecenderungan itu kalau tidak mau ketinggalan jaman. Dengan kondisi demikian maka pendidikan (khususnya proses belajar-mengajar) cepat atau lambat tidak dapat terlepas dari keberadaan komputer dan internet sebagai alat bantu utama. Majalah Asiaweek terbitan 20-27 Agustus 1999 telah menurunkan tulisan-tulisan dalam tema "Asia in the New Millenium" yang memberikan gambaran berbagai kecenderungan perkembangan yang akan terjadi di Asia dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik, agama, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan, dsb. termasuk di dalamnya pengaruh revolusi internet dalam berbagai dimensi kehidupan. Salah satu tulisan yang berkenaan dengan dunia pendidikan disampaikan oleh Robin Paul Ajjelo dengan judul "Rebooting:The Mind Starts at School". Dalam tulisan tersebut dikemukakan bahwa ruang kelas di era millenium yang akan datang akan jauh berbeda dengan ruang kelas seperti sekarang ini yaitu dalam bentuk seperti laboratorium komputer di mana tidak terdapat lagi format anak duduk di bangku dan guru berada di depan kelas. Ruang kelas di masa yang akan datang disebut sebagai "cyber classroom" atau "ruang kelas maya" sebagai tempat anak-anak melakukan aktivitas pembelajaran secara individual maupun kelompok dengan pola belajar yang disebut "interactive learning" atau pembelajaran interaktif melalui komputer dan internet. Anak-anak berhadapan dengan komputer dan melakukan aktivitas pembelajaran secara interaktif melalui jaringan internet untuk memperoleh materi belajar dari berbagai sumber belajar. Anak akan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan kondisi kemampuan individualnya sehingga anak yang lambat atau cepat akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang sesuai dengan dirinya. Kurikulum dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk yang lebih kenyal atau lunak dan fleksibel sesuai dengan kondisi lingkungan dan kondisi anak sehingga memberikan peluang untuk terjadinya proses pembelajaran maju berkelanjutan baik dalam dimensi waktu maupun ruang dan materi. Dalam situasi seperti ini, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran sesuai dengan peran-peran sebagaimana dikemukakan di atas.
Dalam tulisan itu, secara ilustratif disebutkan bahwa di tahun 2005 isi tas anak sekolah bukan lagi buku-buku dan alat tulis seperti sekarang ini, akan tetapi berupa: (1) komputer notebook dengan akses internet tanpa kabel, yang bermuatan materi-materi belajar yang berupa bahan bacaan, materi untuk dilihat atau didengar, dan dilengkapi dengan kamera digital serta perekam suara, (2) Jam tangan yang dilengkapi dengan data pribadi, uang elektronik, kode sekuriti untuk masuk rumah, kalkulator, dsb. (3) Videophone bentuk saku dengan perangkat lunak, akses internet, permainan, musik, dan TV, (4) alat-alat musik, (5) alat olah raga, dan (6) bingkisan untuk makan siang. Hal itu menunjukkan bahwa segala kelengkapan anak sekolah di masa itu nanti berupa perlengkapan yang bernuansa internet sebagai alat bantu belajar.
Hal-hal di atas sudah mulai nampak di negara-negara maju terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun beberapa negara di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura sudah mulai masuk ke situasi era internet. Negara-negara tersebut bertekad untuk menggunakan secara intensif penggunaan internet dalam proses pembelajaran demi untuk menyiapkan bangsanya dalam menghadapi era mendatang yang penuh persaingan. Anak-anak di Jepang misalnya sudah akrab dengan internet sejak usia tiga tahun jauh sebelum masuk sekolah. Tulisan Peter Cordingley yang berjudul "Wired For Life" dalam majalah Asiaweek 12 Mei 2000 memberikan gambaran mengenai penggunaan internet dalam proses pembelajaran di negara-negara Asia seperti disebutkan di atas. Menteri pendidikan Singapura menyatakan bahwa revolusi komputer harus menyentuh setiap anak terlepas ia memiliki atau tidak komputer di rumahnya. Ia meluncurkan satu program lima tahun untuk menjadikan komputer dan internet secara meluas untuk setiap anak sebagaimana halnya kertas dan pensil seperti di masa lalu. Pemerintah Singapura meyakini bahwa sedikitnya sepuluh tahun yang akan datang, orang yang tidak menguasai komputer dan intenet, akan menjadi dinosaurus yang punah karena kalah dalam persaingan di dunia kerja dengan teknologi tinggi. Dengan skenario itu dan atas desakan dari para orang tua yang takut anaknya ketinggalan, maka pendidikan di Singapura telah menempatkan teknologi informasi sebagai prioritas pendidikan. Dalam rencana induknya yang dimulai tahun 1997, ditargetkan satu komputer untuk setiap dua orang anak di tahun 2002 dan 30% kurikulum sekolah disampaikan melalui komputer. Pemerintah menyediakan anggaran yang cukup ($1,25 milyar selama lima tahun) dalam membiayai program untuk penyediaan komputer, perangkat lunak, jaringan internet, dan pelatihan guru-guru.
Di Hong Kong, meskipun ada sedikit masalah politik dengan Cina, namun kebijakan penggunaan teknologi informasi dalam bentuk komputer dan internet untuk kepentingan pendidikan ditargetkan telah terlaksana dalam lima tahun. Pada tahun ajaran 2002/2003, 25% kurikulum diajarkan dengan dukungan teknologi informasi. Di tahun 2001 sekolah dasar memiliki rata-rata 40 komputer dan sekolah menengah 84 komputer. Semua sekolah menengah dan 300 sekolah dasar saat ini telah dihubungkan dengan jaringan internet, dan 80.000 orang guru telah memperoleh pelatihan khusus tentang internet. Di Jepang satu dari tiga sekolah dihubungkan dengan internet, dan pemerintah mentargetkan 40.000 sekolah telah terhubungkan "online" di tahun 2002 dan tiga tahun kemudian setiap anak terakseskan pada satu komputer, serta semua guru telah memperoleh pelatihan. Dengan demikian, pada tahun 2002 semua lembaga pendidikan telah memiliki akses internet satu komputer untuk setiap dua orang anak. Hal yang sama terjadi juga di Taiwan untuk menerapkan teknologi informasi dalam proses pembelajaran. Pejabat pendidikan di sana berpendapat bahwa teknologi informasi dapat mengurangi waktu belajar sehingga memberikan peluang untuk lebih memusatkan pada pendidikan moral dan civic (kewarganegaraan). Disamping itu mereka berpendapat bahwa teknologi komunikasi dapat membuat pendidikan menjadi lebih liberal, global dan humanistik, dan memungkinkan sumber-sumber belajar menjadi lebih luas yang tidak hanya dibatasi oleh buku dan batas-batas nasional.
Dalam tulisan Peter Cordingley tersebut juga dikemukakan beberapa contoh sekolah yang telah menggunakan internet secara intensif dalam proses pembelajaran. Misalnya "Iguchi primary school" di Jepang yang telah sukses membuat anak-anak sekolah dasar bergairah dalam aktivitas pembelajaran dengan menggunakan internet serta memperoleh kemajuan pembelajaran dalam berbagai mata pelajaran. Di "Raffles Secondary School" Singapura, anak-anak belajar bahasa Inggeris dan mata-mata pelajaran lainnya dengan interactive learning melalui internet. Anak-anak lebih bergairah dan kreatif dalam proses berfikir dan mengelola informasi. Kreativitas anak dalam seni musik telah berhasil dikembangkan melalui internet di "St.Paul Secondary School" Hong Kong. Melalui internet anak-anak mampu mengkreasi musik dengan lebih baik dan halus sehingga mendorong pengembangan bakat dan kreativitas. Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman dibeberapa negara Asia yang telah menggunakan internet sebagai alat bantu pembelajaran.
Meskipun teknologi komunikasi dalam bentuk komputer dan internet telah terbukti banyak menunjang proses pembelajaran anak secara lebih efektif dan produktif, namun di sisi lain masih banyak kelemahan dan kekurangan. Dari sisi kegairahan kadang-kadang anak-anak lebih bergairah dengan internetnya itu sendiri dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Dapat juga terjadi proses pembelajaran yang terlalu bersifat individual sehingga mengurangi pembelajaran yang bersifat sosial. Dari aspek informasi yang diperoleh, tidak terjamin adanya ketepatan informasi dari internet sehingga sangat berbahaya kalau anak kurang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh. Bagi anak-anak sekolah dasar penggunaan internet yang kurang proporsional dapat mengabaikan peningkatan kemampuan yang bersifat manual seperti menulis tangan, menggambar, berhitung, dsb. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan pembelajaran secara proporsional dan demikian pula perlunya kerjasama yang baik dengan orang tua untuk membimbing anak-anak belajar di rumah masing-masing.


Kreativitas dan kemandirian belajar

Dengan memperhatikan pengalaman beberapa negara sebagaimana dikemukakan di atas, jelas sekali internet mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap proses dan hasil pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Internet telah memungkinkan terjadinya individuasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan. Melalui internet setiap anak akan terangsang untuk belajar maju berkelanjutan sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan anak mengembangkan kreativitas dan kemandiriannya dalam belajar, dan sebaliknya belajar melalui internet menuntut kreativitas dan kemandirian diri.
Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain: pertama, kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga, kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup, dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan kemampuan berfikir yang memiliki kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya kreativitas ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik dengan tugas majemuk, berani menghadapi resiko, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain, dsb. Karya-karya kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan, dan dapat dikondensasikan. Selanjutnya kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab kemandirian merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian didukung dengan kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal.
Kemandirian dan kreativitas sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena dengan kedua hal itu anak akan memperoleh kelancaran proses belajar dan pada gilirannya akan mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan memperhatikan ciri-ciri kreativitas dan kemandirian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa internet memberikan peluang untuk berkembangnya kreativitas dan kemandirian belajar. Pembelajaran dengan internet memungkinkan anak dapat menghasilkan karya-karya baru yang orsinil, memiliki nilai yang tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan yang lebih bermakna. Misalnya kemampuan menggubah musik seperti dalam pengalaman sekolah menengah di HongKong seperti dikemukakan di atas. Dari internet anak akan memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga meningkatkan wawasannya. Hal ini merupakan rangsangan yang kondusif bagi berkembangnya kemandirian anak terutama dalam hal pengembangan kompetensi, kreativitas, kendali diri, konsistensi, dan komitmennya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain.


Peran guru

Namun semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Anak memerlukan bimbingan yang sistimatis dalam melakukan proses pembelajaran melalui internet baik dari guru maupun dari orang tuanya. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting. Ia harus menguasai seluk beluk internet dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa. Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luiar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya.
Disamping itu faktor-faktor lainnya yang harus ikut mendukung adalah peran orang tua dalam memberikan dukungan yang kondusif bagi proses pembelajaran interaktif dengan menggunakan internet. Orang tua harus berperan sebagai suplemen, komplemen, dan substitusi pendidikan yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Para pendidik dan orang tua harus bekerjasama dalam mengupayakan manfaat positif dari pembelajaran melalui internet dan mencegah dampak-dampak negatifnya.
Sejalan dengan perkembangan global, cepat atau lambat pada gilirannya pengalaman-pengalaman penggunaan internet di beberapa negara maju, akan masuk dan berkembang di Indonesia terutama di kota-kota besar dan lapis masyarakat menengah ke atas. Semua pihak harus siap menghadapinya tanpa mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia masih tertinggal secara ekonomi dan sosial.

--------------
*) Guru Besar UPI (IKIP) Bandung

No comments:

Post a Comment